Oleh Frans Soemarto Mendoer (1913-1971)
Fotografi memang bukan hanya menjadi saksi sejarah, tapi juga menjadi bukti sejarah hidup manusia dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Dengan keberadaan foto, banyak orang bisa diingatkan dan disadarkan tentang suatu hal. Frans Soemarto Mendoer sangat memahami hal tersebut. Karena itulah, setelah mendapat kabar dari seorang sumber di harian Jepang Asia Raya bahwa akan ada kejadian penting di rumah kediaman Soekarno, Frans langsung bergerak menuju rumah bernomor 56 di Jalan Pegangsaan Timur itu sambil membawa kamera Leica-nya. Dan benar, pagi itu, Jumat, 17 Agustus 1945, sebuah peristiwa penting berlangsung di sana: pembacaan teks proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Soekarno.
Saat itu Frans hanya memiliki sisa tiga lembar plat film. Jadi dari peristiwa bersejarah itu, ia hanya bisa mengabadikan tiga adegan. Yang pertama, adegan Soekarno membacakan teks proklamasi. Yang kedua, adegan pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA. Dan yang ketiga, suasana ramainya para pemuda yang turut menyaksikan pengibaran bendera. Setelah menyelesaikan tugas jurnalisnya itu, Frans langsung bergegas meninggalkan rumah kediaman Soekarno karena menyadari bahwa tentara Jepang tengah memburunya.
Frans menjadi satu-satunya orang yang mengabadikan momen sakral itu karena Alex Alexius Impurung Mendoer, kakak kandungnya yang juga sempat memotret prosesi bersejarah tersebut, harus merelakan kameranya dirampas oleh tentara Jepang.
Dan sewaktu tentara Jepang menemui Frans untuk meminta negatif foto Soekarno yang sedang membacakan teks proklamasi, Frans mengaku film negatif itu sudah diambil oleh Barisan Pelopor. Padahal negatif foto peristiwa yang sangat penting itu ia sembunyikan dengan cara menguburnya di tanah, dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Kalau saja saat itu negatif film tersebut dirampas tentara Jepang, maka mungkin generasi sekarang dan generasi yang akan datang tidak akan tahu seperti apa peristiwa sakral tersebut.
Bahkan, mengenai kehadiran Frans di rumah Soekarno pada waktu itu, wartawan senior Alwi Shahab menulis “Andaikata tidak ada Frans Mendoer, maka kita tidak akan punya satu foto dokumentasi pun dari peristiwa proklamasi kemerdekaan…” Tulisan itu dimuat di harian Republika edisi Minggu, 14 Agustus 2005, tiga hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-60.
Pencucian tiga buah foto bersejarah itu juga tidaklah mudah karena dihalang-halangi pihak Jepang. Frans bersama Alex terpaksa secara diam-diam harus mengendap, memanjat pohon pada malam hari, dan melompati pagar di samping kantor Domei (sekarang kantor berita ANTARA) untuk bisa sampai ke sebuah lab foto guna mencetak foto-foto tersebut. Padahal, bila dua bersaudara itu tertangkap oleh tentara Jepang, mereka akan dipenjara, bahkan dihukum mati.
Foto pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu pertama kali dimuat di harian Merdeka pada tanggal 20 Februari 1946, lebih dari setengah tahun setelah pembuatannya. Film negatif catatan visual itu sekarang sudah tak dapat ditemukan lagi. Ada dugaan bahwa negatif film itu ikut hancur bersama semua dokumentasi milik kantor berita Antara yang dibakar pada peristiwa di tahun 1965. Waktu itu, sepasukan tentara mengambil seluruh koleksi negatif film dan hasil cetak foto yang dimiliki Antara lalu membakarnya.
Mendirikan IPPHOS
Frans Soemarto Mendoer lahir pada tahun 1913. Keluarga Mendoer merupakan putra daerah Kawangkoan, Manado, Sulawesi Selatan. Frans belajar cara memotret kepada kakak kandungnya sendiri, Alex, yang kala itu menjadi wartawan foto Java Bode, koran berbahasa Belanda yang berkedudukan di Jakarta. Lambat laun, karena menyukai dunia fotografi, Frans menjadi wartawan foto pada tahun 1935.
Frans dan Alex adalah dua fotografer bersaudara yang menggagas pembentukan Indonesia Press Photo Service, atau yang kemudian disingkat IPPHOS. Dengan mengajak beberapa kawan, di antaranya kakak-beradik Justus dan Frank Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda, mereka secara resmi mendirikan kantor berita IPPHOS pada 2 Oktober 1946. Dengan adanya kantor berita itu, minat Frans terhadap dunia fotografi semakin tersalurkan. Dari kepiawaiannya memainkan kamera, terabadikanlah foto-foto para tokoh penting bangsa ini, seperti Soekarno, M. Hatta, Amir Sjarifuddin, Sutan Sjahrir, Sayuti Melik, dan lain-lain.
Salah satu foto kehidupan Soekarno sehari-hari yang sempat didokumentasikan oleh Frans yakni foto saat Presiden pertama Indonesia itu tengah menyaksikan para sopir kepresidenan mereparasi mobil. Ada juga foto momen-momen penting saat Soekarno mengumumkan kabinet pertamanya di bulan September 1945. Frans juga sempat memotret mimik muka mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang tengah larut dalam perasaan emosional saat membaca buku tragedi Romeo and Juliet karya Shakespeare di atas gerbong yang membawanya ke hadapan regu tembak.
Bahkan, pada masa-masa revolusi fisik dulu, Frans juga banyak mengabadikan suasana Kota Jakarta, misalnya foto tulisan “Merdeka atau Mati”atau “Freedom or Death” yang banyak terdapat di tembok-tembok bangunan kala itu.
Dari sisi fotografi, apa yang dilakukan Frans Mendoer dan rekan-rekannya di IPPHOS bukan saja menjauhkan suasana kaku dan berjarak yang sangat terasa pada fotografi zaman Hindia-Belanda, tapi juga menghilangkan segala bentuk diskriminasi sosial. Pada hasil-hasil bidikan kamera mereka, manusia Indonesia sengaja ditonjolkan tampak hidup, tersenyum, bahkan berdiri tegap berdampingan dengan manusia-manusia dari belahan bumi lainnya. Frans dan rekan-rekannya di IPPHOS sengaja menampilkan foto manusia-manusia Indonesia yang tidak lagi hanya menjadi “piguran”, tapi menjadi sosok utama yang menjadi pusat perhatian. Bidikan kamera-kamera mereka telah mampu menyajikan wajah bangsa Indonesia pada kurun 1945-1949 dalam nuansa yang lain, yakni nuansa pergerakan.
Tetap Idealis
Orang-orang IPPHOS, terutama Frans Mendoer dan Alex Mendoer, sudah berperan sentral sebelum lembaga itu resmi berdiri. Rasa kebangsaan mereka pun telah teruji. Ketika rakyat Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan bebas menentukan masa depannya, para fotografer IPPHOS tetap idealis, sebuah pilihan yang sangat sulit dijalani. Sebab, jika mau, kehidupan Frans Mendoer sebenarnya bisa lebih terjamin dengan bekerja di media luar negeri. Hal itu sebenarnya sangat gampang dilakukan oleh Frans, mengingat nama Mendoer sebagai fotografer andal sudah terkena ke mana-mana.
Selain itu, Frans dan Alex Mendoer juga sering meliput kondisi pergerakan kebangsaan di tiap negara Asia yang disorot publik dunia. Hal itu membuat keberadaan mereka sangat diperhitungkan oleh media-media asing. Apalagi, keluarga Mendoer berasal dari etnis Minahasa yang dianggap dekat dengan bangsa Belanda. Namun, atas nama bangsa, Frans tetap setia dalam pangkuan ibu pertiwi Republik Indonesia. Ia tetap mengabdikan dirinya bagi Republik Indonesia. Hebatnya lagi, IPPHOS juga tetap media independen.
Pada 1946, situasi dan keamanan Jakarta semakin gawat. Hal itu memaksa Soekarno-Hatta memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. IPPHOS pun bersedia membuka kantor cabang di ibu kota RI kedua itu dan Frans Mendoer menjadi penanggungjawabnya.
Di Yogyakarta, semua hasil jepretan Frans saat meliput suasana perang dan kehidupan rakyat di tengah tekanan Belanda, menjadi kartu sakti perjuangan Republik Indonesia di forum internasional. Salah satu karya monumental Frans adalah foto penyambutan Panglima Besar Jenderal Soedirman oleh Letnan Kolonel Soeharto dan Rosihan Anwar di Stasiun Tugu atas perintah Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Frans meninggal dunia pada 24 April 1971 di Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta. Dalam berita yang dimuat harian Pedoman tertulis bahwa tidak banyak wartawan yang mengantar jenazah Frans Soemarto Mendoer ke makamnya. Bahkan, meskipun jasanya bagi bangsa ini sangat besar, Frans dianggap tidak memenuhi syarat untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sungguh sangat ironis.