Aditya Kusuma Wardana dari TAKA yang terlibat dalam observasi ini mengungkapkan, menjauhnya lokasi tangkapan hiu bisa dilihat di Bali dan Lombok. Dahulu di Lombok, untuk menangkap hiu cukup di wilayah Lombok Selatan. Sekarang nelayan bisa sampai perairan perbatasan Australia. Sementara, nelayan Bali mencari hiu hingga ke wilayah Laut Aru. "Ini menandakan bahwa stok hiu di wilayah sekitar nelayan berada sudah sangat sedikit," ujarnya.
Menurut Aditya, Indonesia adalah penangkap hiu terbesar dunia, tetapi tidak masuk dalam 10 besar pengekspor hiu di dunia. Berdasarkan hasil survei, kata dia, diketahui bahwa sebagian besar hiu yang tertangkap merupakan by catch. Artinya, hiu bukan merupakan target utama penangkapan.
Berdasarkan hasil observasi, 5 jenis hiu yang sering tertangkap adalah jenis Liong Bun (white spot guitarfish), hiu martil, hiu biru, hiu monyet dan hiu tikus. Sementara, 5 hiu bernilai ekonomis tinggi ialah lion bun, hiu biru, hiu martil, hiu buas, dan hiu coklat. Hiu dimanfaatkan siripnya sebagai bahan pangan.© haxims.blogspot.com
Capture Fisheries Coordinator Marine Program WWF Abdullah Habibi mengatakan, hiu dan pari adalah ikan yang selalu dimanfaatkan tapi belum pernah dihitung stoknya. "Penting untuk melakukan survei ketersediaan hiu dan stok di Indonesia. Dengan demikian, bisa diperkirakan apakah hiu masih aman dikonsumsi atau tidak," katanya.
WWF dan TAKA menyusun beberapa rekomendasi untuk menyelamatkan hiu. Di antaranya adalah dibutuhkannya ilmuwan untuk menemukan solusi menurunkan by catch sebesar 70%.Selain itu, menurut Aditya, dibutuhkan juga regulasi perdagangan produk hiu serta cara menggeser kegandrungan mengonsumsi hiu.
0 komentar:
Posting Komentar