Salah satu keuntungan yang saya peroleh saya kunjungan ke daerah-daerah terpencil di pelosok Nusantara adalah menemukan hal-hal baru dan unik yang tidak mungkin dijumpai di Jawa khususnya.
Salah satunya adalah Burung Maleo. Satwa langka yang menjadi ciri untuk wilayah Sulawesi Utara ini ternyata cukup banyak dijumpai di wilayah Halmahera Utara.
Gambar di samping ini diambil dari catatan om wiki.
Sepanjang tugas saya sering menjumpai burung ini. Suaranya yang khas, besar dan keras terdengar sepanjang hari di hutan… berbaur dengan suara burung Kakatua Biru atau Merah atau suara burung sejenis Rangkok (masyarakat lokal menyebutnya burung Taon karena paruhnya mempunyai strip yang bertambah setiap tahun).
Termasuk binatang langka… burung Maleo banyak diburu masyarakat lokal karena rasa dagingnya yang enak (katanya sih mirip ayam kampung…).
Di samping dagingnya yang diburu, telur burung inipun banyak dicari. Mirip telur ayam namun dengan ukuran “super jumbo” dengan volume setara dengan 4-5 kali telur ayam biasa. Telur burung Maleo tidak dierami, hanya ditimbun dalam tumpukan tanah dan ranting sedalam 40 cm hingga 1 meter. Jadi, telur ini akan menetas di dalam tanah. Anak burungnya akan menunggu si induk datang menggali.
Beberapa kali saya menjumpai gundukan tanah gembur “hasil kerja” induk burung Maleo. Dan beberapa kali pula saya dan beberapa orang ‘pemandu lapangan’ yang merupakan penduduk lokal mengambil telur Maleo. Tanpa permisi tentunya.
Telur burung Maleo termasuk langka. Tetapi di Halmahera Utara – terutama di hutan – telur ini banyak dijumpai. Dalam sehari kami bisa menemukan lebih dari 5 lokasi sarang penetasan. Semua hanya dalam radius 30 – 50 hektar saja, itupun dalam perjalanan kerja – bukan sengaja mencari telur. Meski demikian, karena burung Maleo adalah satwa yang dilindungi, maka otomatis telurnya-pun termasuk yang harus dijaga dari kepunahan.
Di samping telur Maleo yang unik, saya sering dibuat terkejut oleh para pemandu lokal yang amat trampil mencari belut dan udang di sungai.
Bukan main. Saya acapkali terkaget-kaget dengan “ukuran” yang saya saksikan.
Jadi, siapa bilang hidup di hutan itu sengsara? Makanan yang sehat, bergizi dann natural tersedia. Ditambah udara bersih tanpa cemaran polusi…. Hmmm!!
0 komentar:
Posting Komentar