ilustrasi(foto table mountain by inspirasi)
"ASSALAMUALAIKUM, selamat datang." Seorang laki-laki menyambut kami dengan ramah di pinggir jalan di pusat kota Cape Town, Minggu (4/7) malam. Ia warga Afrika Selatan, tetapi tidak berkulit hitam. Moegamat Gilmie Hartley. Itulah nama sosok pria paruh baya tersebut. Ia sengaja menunggu, untuk selanjutnya mengantar saya dan beberapa rekan wartawan Indonesia menuju penginapan. "Apa kabar?" ujarnya sambil menyalami kami satu per satu.
Perjalanan panjang dari Johannesburg menempuh jarak 1.400 km yang kami lakukan dengan mobil carteran pun berujung dengan sambutan begitu menyejukkan. Sambutan khas orang Melayu yang memang terbiasa ramah, di mana pun mereka hidup. Sifat ini pula yang mengalir di darah Gilmie meski ia lahir dan besar di Afrika Selatan.
Gilmie adalah satu dari sekitar 200 ribu warga Afsel keturunan Melayu. Komunitas ini biasa disebut Cape Male atau Cape Malay. Mereka bemenek moyang Asia Tenggara, terutama dari Jawa dan kawasan Malaka.
Orang-orang Cape Malay kebanyakan tinggal di Cape Town. Dari total jumlah penduduk 3.497.097 (menurut sensus 2007), ada 166.000 warga keturunan Indonesia. Mereka kebanyaan berdomisili di Distrik Enam, Cape Flats, Bo-Kaap, Cloremant Road, dan Signal Hill. Keberadaan mereka bermula ketika pengu-saha Belanda Jan van Riebeeck membawa budak dari Melayu. Van Riebeeck sendiri konon merupakan orang Eropa pertama yang menetap di Cape Town pada 1652.
Sebagian lainnya keturunan Syeikh Yusuf dan Abdullah Qadi Abdulsalam alias Tuan Guru yang dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Afsel. Syeikh Yusuf asal Makassar dibuang pada 1693, sedangkan Abdullah Qadi ditahan di Robben Island selama 13 tahun mulai 1780.
Di Cape Town juga kota-kota lain di Afsel, orang-orang buangan dan para budak itu kemudian menikah dan beranak-pinak hingga sekarang.
Meski berdarah Melayu, Gilmie lebih mirip orang India, tapi kulitnya lebih putih. Dia bisa sedikit bahasa Melayu dan Indonesia karena pernah tinggal beberapa bulan di Kuala Lumpur untuk belajar silat.
Setiap Rabu, Gilmie yang bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen Kesehatan Afsel juga mengikuti kursus bahasa Indonesia di Konsulat Jenderal RI di Cape Town. "Saya baru bisa mengucapkan selamat datang dan apa-kabar," ungkapnya sembari tertawa.
Dia tahu dirinya punya darah Melayu dan bertekad terus menjaga trah Melayu-nya. "Saya belum pernah ke Indonesia. Insya Allah, Desember nanti saya akan keKalimantan Timur dan Jawa."
Gilmie, yang punya rumah di Nerina Street, hanyalah satu dari sekian banyak orang Melayu di Afsel. Komunitas mereka cukup kuat, bahkan beberapa jabatan penting pernah dipegang. Di antaranya Ibrahim Rasool.
Pria berdarah Jawa itu pernah menjadi gubernur Western Cape, provinsi yang beribu kota di Cape Town, periode 2002-2008. Manajer Kota Cape Town saat ini juga dijabat keturunan Male, Achmat Ibrahim.
Seperti di tanah leluhurnya, warga Cape Malay mayoritas beragama Islam. Tidak mengherankan jika di Cape Town terdapat banyak masjid. Dari sekitar 600 masjid di seluruh Afsel, 163 di antaranya berada di Cape Town dan 102 di Johannesburg.
Masjid paling terkenal di Cape Town adalah Auwal Masjid atau Masjid Pertama. Masjid ini didirikan Tuan Guru-ulama asal Tidore- pada 1794. Sekarang, imam Auwal Masjid dipegang Moegamat Fadeli Soekir.
Dari namanya, kita bisa meraba dari mana Pak Sukir berasal. Rasanya dalam dirinya mengalir darah Jawa. Ia juga bisa mengucapkan satu-dua patah kata Indonesia seperti terima kasih, sama-sama, apa kabar, dan selamat jalan".
Berada di Cape Town, bertemu dengan orang-orang seperti Gilmie dan Soekir, saya merasa berada di negeri sendiri. Atau, jangan-jangan saya memang satu keturunan dengan mereka....
sumber : (Bataviase.co.id)
1 komentar:
kita belum pernah mendengar atau membaca orang yang pertama disebut suku jawa dan menempati pulau jawa yang pertama kali
Posting Komentar