BINGKAI JAWA DI SURINAME

Arsip Blog

Penataan dan Kontrol Penduduk di Bawah Kekuasaan VOC dan Hindia Belanda


SEJARAH-JP : Pada abad 16, bangsa Barat mulai datang ke Nusantara. Diawali bangsa Portugis tahun 1512, Spanyol tahun 1560, disusul Belanda tahun 1596. Pada awalnya mereka datang dengan sejumlah kepentingan yang biasa dikenal dengan sebutan Gospel (penyebaran agama), Glory (kemulyaan), dan Gold (kekayaan). Namun, dalam perjalanannya, kepentingan ekonomilah yang paling utama yaitu untuk mendapatkan barang-barang komoditas dunia, khususnya rempah-rempah yang kala itu laku keras di Eropa.
Kepentingan perdagangan tersebut membawa konflik baik antar bangsa Eropa, maupun dengan penguasa lokal di Nusantara. Masing-masing membangun kekuatannya seperti membentuk serikat dagang atau melengkapi teknologi perkapalan dan armada perang. Masing-masing tak jarang saling berhadapan dan peperangan pun terjadi.
Pada tanggal 20 Maret 1602, untuk memperkuat kepentingan dagangnya, Belanda membentuk Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama sekitar 9 tahun VOC melakukan perdagangan dengan singgah di sembarang pelabuhan. Kemudian pada tahun 1611, VOC membeli lahan sekitar satu hektar di Sunda Calapa seharga 1.200 ringgit dari tangan Wijaya Krama, penguasa Jayakarta. Lahan tersebut dibangun menjadi kota dagang. Perdagangan VOC makin berkembang pesat setelah dengan kekuatannya menyingkirkan kekuasaan Jayakarta dan mengubah Jayakarta menjadi Batavia tanggal 30 Mei 1619. Batavia menjadi markas pusat VOC.
Kesuksesan VOC membangun Batavia menjadi ancaman besar bagi penguasa lokal, diantaranya penguasa Kasultanan Banten dan Mataram. Seperti sudah disinggung di bagian awal tulisan ini, Kasultanan Banten kemudian dipaksa tunduk di bawah VOC. Dalam menundukkan Banten, selain menggunakan kekuatan militer, VOC juga menjalankan strategi “pelumpuhan penyangga ekonomi” kasultanan Banten. Dalam laporan penulis bangsa kulit putih, disebutkan banyak orang Tionghoa di Banten sebagai pedagang dan memberikan andil besar sebagai pemasok pajak bagi kasultanan Banten. Sedang warga pribumi banyak dijadikan budak. Dengan blokade perdagangan, penarikan pedagang Tionghoa ke Batavia (melalui bujukan mendapat upah hingga dengan penculikan paksa), serta ikut mengintervensi konflik internalkasultanan Banten (konflik Sultan Ageng Tirtoyoso dengan Sultan Haji tahun 1683), hegemoni Kasultanan Banten akhirnya runtuh. Daerah Tangerang selanjutnya dapat dikuasai VOC sejak ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April 1684. Sedangkan konflik dengan Mataram terjadi tatkala Sultan Agung ingin menguasai seluruh Jawa. Ia sempat melakukan penyerbuan ke Batavia selama dua kali tahun 1628 dan 1629 namun berakhir gagal. Kasultanan Banten dan Mataram tak mampu mengusir VOC dari tanah Nusantara.
Penting disinggung di sini mengapa kekuatan bangsa Eropa, khususnya VOC kemudian mampu menguasai jalur perdagangan antar pulau, padahal sebelum mereka datang, perdagangan laut sesungguhnya justru didominasi orang-orang Tionghoa. Salah satu penyebabnya karena adanya perlengkapan teknologi bangsa Barat yang kala itu jauh lebih unggul. VOC mempunyai armada-armada kapal yang besar lengkap, dengan persenjataan. Maka, bangsa kulit putih tersebut mampu membawa barang-barang jauh lebih banyak dibanding pedagang lain, terutama jung-jung Tiongkok. Para pedagang Tiongkok kemudian tidak dapat bersaing. Mereka tidak mampu lagi melakukan aktivitas mondar-mandir antar pulau. Perdagangan laut dikuasai oleh bangsa kulit putih. Hal itu menyebabkan pergeseran kedudukan mereka dari pedagang besar antar pulau dan perantara dengan warga pribumi, kemudian berubah hanya menjadi pedagang perantara antara bangsa kulit putih (VOC) dengan penduduk pribumi. Bahkan, sebagian dari mereka di kemudian hari ada yang harus berprofesi sebagai petani ketika menghadapi tekanan politik kolonial.
Begitu VOC mampu mengembangkan Batavia sebagai pusat dagang, maka dimulailah sistem kekuasaan layaknya sebuah negara. Untuk mencapai tujuan utamanya di bidang perdagangan, ia harus mampu mengontrol kehidupan kota dan mengatur penduduknya. Pada masa awal VOC di Batavia, kontrol penduduk paling mencolok adalah penentuan warga kota (ingezetenen) dan orang asing (vreemdelingen). Warga kota adalah mereka yang bisa menopang kepentingan dagang VOC, antara lain: pejabat VOC, serdadu Eropa maupun sewaan dari Jepang, orang Tionghoa, para budak rampasan Portugis dari pantai India. Sedangkan penduduk pribumi dinyatakan sebagai warga asing. Warga asing tersebut meliputi semua orang Jawa baik dari Banten maupun Mataram (Javanen) dan disebut sebagai inlanders atau bumiputra. Saat konflik antara VOC dengan Banten dan Mataram, keberadaan orang Jawa tersebut dilarang tinggal di dalam kota dan hanya boleh membangun pondok di luar tembok. Wilayah di luar kota biasa disebut Ommelanden.
Setelah Batavia berkembang, kontrol terhadap penduduk dilakukan dengan memilah berdasarkan ras, daerah asal, status ikatan kerja dalam perdagangan VOC. Contoh pemilahan pada 50 tahun pertama kekuasaannya di Batavia adalah penentuan lima kelompok masyarakat yaitu pertama, kelompok Eropa seperti pejabat VOC, sedadu, dll (mendapat jatah daging dua kali seminggu), kedua adalah kelompok Cina, Arab, Jepang (mendapat sembilan pon beras per dua minggu), ketiga adalah istri (para gundik orang Belanda) dan budak, keempat adalah anak-anak karyawan VOC, dan kelima adalah warga biasa (burghers) yang mayoritas terdiri dari warga pribumi.
Keberadaan budak di Batavia berasal dari rampasan Portugis di India, juga orang-oarang dari Sulawesi Selatan, Jawa Barat (Westerse Javanen), Jawa Timur (Oostere Javanen), dan Bali. Para budak biasanya diperkerjakan untuk menukangi kapal, membersihkan selokan, menggali parit, mengangkut bebatuan, diperjual-belikan untuk pengolahan lahan milik tuan tanah, dan-lain-lain.
VOC selanjutnya menempatkan warga dalam kampung-kampung yang juga berdasarkan ras. Masing-masing ras dikepalai oleh seorang kepala yang ditentukan oleh VOC. Namun, pemilahan tersebut dalam kenyataannya selalu berubah-ubah sebab sesungguhnya ditentukan oleh VOC atas dasar keuntungan yang harus didapat VOC. Dan tentu, penentuan itu dibuat secara sepihak.
Untuk menopang monopoli dagang VOC, salah satu upaya yang dilakukan adalah penggunaan orang-orang Tionghoa, Arab, dan Eropa sebagai kelompok yang sangat penting. Di antara ketiga kelompok tersebut, orang Tionghoa dipandang paling menentukan. Dalam laporan JP. Coen kepada de Heeren XVII disebutkan, “Tak ada golongan masyarakat yang lebih baik bagi kepentingan kita dan lebih luwes dalam pergaulan kita daripada masyarakat Cina” (Daer is geen volck die ons beter dan Chinesen dienen en soo licht als Chinesen te becomen sijn)[2].
Seperti telah banyak disinggung di bagian awal, orang-orang Tionghoa mempunyai tradisi bertukang, rajin, tekun, dan mahir berdagang. Kemahiran tersebut sangat dibutuhkan VOC untuk dijadikan sebagai “tenaga kerja” penopang monopoli dagangnya. Orang-orang Tionghoa selain menjadi tenaga kerja VOC juga menjadi kelompok pengumpul barang komoditas, khususnya dari orang pribumi. Tanggal 1 Nopember 1620, seorang pedagang Cina bernama Siauw Bing Kong alias Bencon diangkat menjadi kepala (kapiten) pertama bertanggung jawab mengatur seluruh barang dagangan yang masuk dan keluar Batavia. Di bidang pemungutan pajak dan pengelolaan lahan pertanian juga dijabat orang Cina. Perdagangan kala itu antara lain: sirih, pinang, tuak, anggur, kopi, intan, teh, cula badak, kapur barus, dll. Untuk jenis pajak ada banyak sekali. Segala kegiatan masyarakat seperti pesta, perjudian, sabung ayam, pertunjukan wayang, sewa lahan, hingga pajak kepala yang dikenakan bagi warga.
Sekitar tahun 1683, terjadi gelombang imigran Cina ke Batavia dan daerah sekitarnya seperti di daerah Priangan yang terkenal sebagai daerah perkebunan kopi. Para pendatang baru tersebut, oleh VOC sering disebut sebagai singkeh. Mereka bermigrasi ke Batavia baik dari Banten maupun orang-orang hokien dari daratan Cina. Jumlah mereka terus meningkat. Berbeda dengan Tionghoa yang datang lebih awal, para pendatang baru ini cenderung banyak yang miskin, tidak mempunyai ketrampilan, tak mampu bayar pajak, sehingga dipandang mengganggu kehidupan Batavia.
Dari total sekitar 60.000 penduduk Batavia, jumlah orang Tionghoa pada tahun 1719 mencapai sekitar 11.641 orang, kemudian di tahun 1739 sekitar 14.773 orang, belum termasuk mereka yang tinggal di luar benteng yaitu 10.574 yang tersebar termasuk di wilayah Tangerang. Jumlah tersebut meningkat lagi dengan lahirnya anaak-anak keturunan mereka. Cina keturunan tersebut oleh VOC disebut sebagai peranakan Chineez dimana status mereka disamakan dengan kelompok Bumiputra dan dibedakan dengan cina totok.
Karena, keberadaan orang-orang Tionghoa tersebut mampu mengembangkan usaha perdagangan kopi dan bercocok tanam. Hal ini merupakan ancaman bagi monopoli pihak VOC. Sebab, kemampuan dan perkembangan perdagangan mereka juga diperkuat dengan proses pembauran dengan warga pribumi di sekitar Batavia. Walaupun VOC selalu berusaha melakukan pemilahan dan penempatan secara terpisah-pisah berdasarkan ras, namun pembauran selalu terjadi.
VOC memandang pembauran tersebut bisa melahirkan persekongkokolan yang membahayakan. Oleh sebab itu, pada tahun 1707, VOC mengeluarkan ordonansi melarang singkeh masuk ke Batavia secara besar-besaran. Namun, larangan itu tak mampu membendung arus imigran. Untuk mempertahankan diri, banyak imigran yang kemudian meleburkan diri dengan warga pribumi. Diduga, mereka di antaranya kemudian banyak tinggal di daerah sekitar Beteng (Tangerang). Karena mereka mayoritas laki-laki, maka untuk menjamin keamanan, mereka banyak yang kemudian mengkawini perempuan setempat dan melakukan aktivitas layaknya pribumi. Di antara mereka banyak yang ikut bertani. Proses penggabungan tersebut diduga sebagai salah satu penyebab mengapa budaya orang-orang di sekitar Batavia mengandung unsur-unsur budaya Cina seperti tercermin dalam budaya Betawi (penduduk Batavia) misalnya kesenian gambang kromong, lenong, dll.
Puncak dari kekhawatiran VOC terhadap kekuatan Cina terjadi pada Oktober 1740.
Setelah upaya menghambat laju pertumbuhan penduduk Tionghoa gagal dibendung, VOC mengeluarkan ordonansi dan merazia mereka yang tidak punya surat yang sah. Mereka ditangkap dan dikirim ke Sailon, Srilangka. Desas-desus beredar bahwa sebagian dari mereka dibuang ke laut. Akibatnya sejumlah orang Tionghoa melakukan perlawanan dan mereka dituduh merencanakan pemberontakan. Tentara Kompeni kemudian menyapu warga Tinghoa di Batavia dengan pembunuhan dan penangkapan besar-besaran. Konon dalam pembantaian tersebut, 10.000 Cina terbunuh. VOC menyebut peristiwa itu sebagai “pemberontakan Cina” di Batavia.
Dampak peristiwa Oktober 1740 menjadi salah satu penyebab penting terjadinya migrasi besar-besaran warga Tionghoa ke Tangerang. Mereka yang berhasil lolos dari pembantaian menetap di sekitar barat dan timur Beteng. Sedang orang Tionghoa lainnya yang tidak dihukum mati, direlokasi oleh VOC untuk tinggal di sejumlah daerah yang kini dikenal sebgai Pondok Kacang, Pondok Jagung, Pondok Aren, sekitar Serpong, dan lain-lain. Di antara mereka yang mampu, kemudian bisa membeli lahan kepada VOC dan menjadi tuan-tuan tanah baru. Sementara itu, mereka yang tak mampu kemudian hidup bercocok tanam, menjadi pedagang, pengumpul hasil bumi, dan lain-lain. Keragaman profesi mereka bisa dilihat hingga sekarang. Banyak orang tionghoa yang disebut “Cina Beteng” yang hidup sebagai penarik becak, petani, penjaja makanan, dll.
Keberadaan etnis Tionghoa di Tangerang sangat penting. Selain dampak peristiwa Oktober 1740, sebelumnya sudah ada orang Tionghoa kaya yang menjadi tuan tanah di sekitar Tangerang sebagai dampak kebijakan VOC tahun 1620. VOC mengkatagorikan daerah Tangerang sebagai tanah usaha (erfacht) terutama di distrik Mauk dan Balaraja yang bisa diekelola dengan wajib membayar uang sewa dan pajak penghasilan.
Tatkala VOC mengalami kebangkrutan karena korupsi dan kekuasaannya digantikan oleh kolonial Hindia-Belanda, status erfacht bagi Tangerang tidak berubah. Di masa pemerintahan HW. Daendels (1808-1811), Tangerang dijual dan disewakan kepada pihak swasta (tanah Partikelir). Status tersebut terus berlanjut di masa pemerintahan Rafles (1811-1816) dan disusul pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga tahun 1942. Mayoritas daerah Tangerang adalah tanah partikelir yang umumnya dikuasai orang Cina dan Eropa.
Status daerah Tangerang tersebut di bawah kontrol langsung pemerintahan kolonial yang berlaku. Misalnya pada tahun 1850, Tangerang menjadi daerah Karesidenan Batavia dipimpin oleh residen P. Van Rees dengan asisten residen W.H.H. van Riemsdijk. Distrik Tangerang kala itu dipegang oleh Pulouw Abdulmuhi. Sedang jabatan yang dipegang orang pribumi adalah bidang-bidang terkait hukum agama dan hukum umum seperti penghulu besar. Pejabat penghulu besar kala itu adalah Thauran Alimudin Tamim Dossol, Imam Haji Abdul Rahim, Muzanif Abdul Rahim, dan Abdul Rahman. Kemudian pada tahun 1860 memperkenalkan Tangerang sebagai daerahafdeling dibawah karisidenan Batavia. Artinya Tagerang merangkap sebagai ibu kota Afdeling dan ibu kota tiga distrik yaitu Tangerang Utara, Timur, dan Selatan. Para pejabat dalam lingkungan afdeling Tangerang adalah CC. Tromp sebagai asisten residen (1864-1870), JCW. Court sebagai Komis Pengawas lelang (vendumeester), JJP. La Ruelle sebagai kepala polisi di Mauk, JK Steijns sebagai kepala polisi Curug, Mas Kasim sebagai jaksa (1856-1881), Raden Penna sebagai wakil jaksa, Mas Abdullah sebgai penghulu, Uij Cong Piauw sebagai letnan Cina di Tangerang, dan Lom Mo Gie sebagai letnan Cina di Mauk[3].
Sementara itu, para tuan tanah Eropa tinggal di ibukota distrik Tangerang, sedang para tuan tanah Tionghoa banyak tinggal di perkampungan partikelir secara berkelompok. Tuan tanah Tionghoa tersebut pada awalnya banyak tinggal di daerah Tegal Kunir dan Kebon Waru. Dan untuk mengatur pemukiman Tionghoa, pemerintah menunjuk seorang mayor Cina. Pada tahun 1850, dipegang oleh Tan En Goan dengan pangkat Mayor yang mengurus pemukiman Tionghoa di Batavia dan sekitarnya. Ia dibantu sejumlah kapten dan letnan Cina di wilayah administratib di bawahnya. Sistem pemukiman berdasarkan ras tersebut juga berlaku untuk pemukiman orang Arab, Bengali, dan orang islam (moore) lainnya.
Dalam mengatur wilayah Tangerang, setiap penguasa kolonial berkoordinasi dengan pejabat di bawahnya untuk menjamin keamanan maupun jalannya kepentingan ekonomi. Artinya, seorang kepala distrik seperti kapitan Cina, wajib menjalankan perintah residen dalam menjaga keamanan, setor hasil pajak, pelaksanaan berbagai ordonansi, memberikan laporan berkala, dan lain-lain. Beberapa hal penting yang cukup mencolok dalam pengaturan kehidupan sosial ekonomi di Tangerang adalah praktek pengolahan lahan partikelir, perdagangan, kerajinan, dan sistem pajak.
Lahan persawahan partikelir mayoritas dimiliki tuan tanah Cina. Sampai awal abad 20, tanah partikelir Tangerang dan daerah sekitar Batavia dikuasai oleh 304 tuan tanah. Menurut Kartodirdjo, daerah Tangerang adalah salah satu daerah pusat pemilikan partikelir di tanah Jawa[4].
Selain menguasai lahan partikelir, tuan tanah Cina juga wajib menyetorkan pajak penghasilan dan sewa lahan kepada pemerintah. Pajak tersebut biasanya berasal dari para petani pribumi yang mengolah lahan tersebut. Untuk menjalankan pengumpulan pajak dan menjamin keamanan produksi, para tuan tanah menggunakan sejumlah jawara yang mempunyai sejumlah olah kanuragan (bela diri). Jawara tersebut kebanyakan orang-orang pribumi yang digaji oleh para tuan tanah. Keberadaan mereka cukup disegani oleh para petani pengolah lahan partikelir[5].
Mayoritas lahan partikelir diolah oleh warga pribumi. Untuk dapat mengolahnya, setiap orang petani dikenakan pajak (cuke) sebesar 1/5 hasil panen. Mereka juga dikenakan biaya sewa untuk tanah yang digunakan untuk rumah dan tegalan. Selain itu, dikenakan pula wajib kerja (kompenian) untuk memelihara jalan, jembatan, dll. Petani yang melanggar ketentuan dikenakan denda dan dipidana di pengadilan.
Sebagian pribumi lainnya, bekerja di lahan perkebunan kopi peninggalan Kompeni di daerah Rumpin dan Lengkong. Akan tetapi, daerah Tagerang dikenal sebagai penghasil kopi yang tidak baik. Penjualan produksi selalu merugi. Kerugian tersebut seringkali ditanggung oleh petani dimana upah maupun jatah yang harusnya didapat sering dikemplang oleh mandor perkebunan.
Sedangkan penduduk Cina yang tidak menjadi tuan tanah, kebanyakan menjadi pedagang (kedai dan toko eceran), peternak babi, petani kacang, kedelai di ladang. Hasil tanaman kedelai, diduga menjadi sumber utama produksi kecap yang kala itu terkenal dengan sebutan “kecap Beteng”. Di antara mereka ada juga yang menjadi pekerja kasar seperti buruh/kuli di pasar mandor perkebunan dan pabrik gua di daerah kampung Babakan. Buruh dan mandor perkebunan biasanya mendapat upah harian. Pada tahun 1904, untuk mandor perkebunan f 0,50 – f 1 perhari dan untuk kuli f 0,25 – f 0,40.
Sebagian penduduk lain adalah menjadi pengrajin topi anyaman bambu dan pandan. Topi tersebut dieksport melalui pelabuhan Tanjung Priok. Konon hasil produksi topi bambu Tangerang sangat terkenal di luar negeri seperti Amerika dan Perancis. Namun sejak tahun 1930, produksi tersebut menurun, kalah saing dengan produksi topi pandan dari Amerika. Akhirnya gulung tikar dan tidak pernah bangkit lagi.
Hal lain yang mencolok dalam sistem kehidupan sosial ekonomi di Tangerang adalah di bidang perdagangan. Hampir seluruh perdagangan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri, didominasi oleh orang Cina dan Eropa. Untuk topi bambu,perdagangan di dalam negeri dikuasai orang Tionghoa sedang eksport ke luar negeri dikuasai orang Eropa.
Seperti disingung di atas, para tuan tanah juga sekaligus mempunyai kekuasaan perpanjangan tangan kolonial untuk melakukan pemungutan pajak yaitu cuke dan sewa tanah. Artinya, setiap pengolah lahannya tunduk kepada tuan tanah tersebut. Akibatnya, para pengolah yang mayoritas warga pribumi selalu terjepit. Apalagi di saat produksi merugi. Seperti misalnya yang dalam perkebuanan kopi yang terpusat di Priangan Jawa Barat. Ketika sekitar tahun 1832 kolonial memaksakan penanaman kopi (tanam paksa) di luar daerah lain yang tidak cocok iklimnya dan tanpa teknologi yang memadahi, akibatnya hasilnya merugi. Kerugian tersebut sering ditimpakan kepada petani dengan upah yang tidak dibayar atau kerja paksa melebihi 66 hari setahun seperti ketentuan yang berlaku.
Kondisi penindasan seperti itulah yang kemudian menyulut perasaan tidak puas bagi sejumlah warga pribumi.. Mereka seringkali menginginkan penghapusan cuke, kompenian, dan sewa tanah yang dikenakan oleh para tuan tanah. Salah satu akibat yang muncul adalah terjadinya pemberontakan Kaiin dan pengikutnya, sekitar bulan Februari 1924 Mereka menginginkan agar para tuan tanah yang mayoritas orang Tioghoa diusir dari daerah Tangerang. Haji Kaiin dan pengikutnya sempat menduduki daerah Teluk Naga dan menyerang serta mengintimidasi para tuan tanah. Namun, para tentara kolonial berhasil mematahkan perlawanan mereka. Kaiin dengan 19 pengikutnya tewas di daerah Tanah Tinggi dan puluhan lainnya ditahan
    
      Sumber :     http://jurnalpatrolinews.com/?p=2530
  • Share
  • [i]

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...