BINGKAI JAWA DI SURINAME

Arsip Blog

Sejarah Migrasi Orang Jawa ke Suriname

Suku Jawa sudah berada di Suriname sejak akhir abad ke-19, di mana angkatan pertamanya dibawa oleh kolonis Belanda dari Hindia-Belanda (sekarang Indonesia). Sebagian keturunan mereka ada yang tinggal di Belanda. Sampai sekarang, mereka tetap menuturkan bahasa Jawa.
Republik Suriname (Surinam), dulu bernama Guyana Belanda atau Guiana Belanda adalah sebuah negara di Amerika Selatan dan merupakan bekas jajahan Belanda. Negara ini berbatasan dengan Guyana Perancis di timur dan Guyana di barat. Di selatan berbatasan dengan Brasil dan di utara dengan Samudra Atlantik.
Di Suriname tinggal sekitar 75.000 orang Jawa dan dibawa ke sana dari Hindia-Belanda antara tahun 1890-1939.
Walaupun mereka telah di sana selama beberapa generasi, banyak dari mereka masih mengidentifikasi Jawa, walaupun sangat sedikit yang pernah mengunjungi pulau Jawa atau memelihara hubungan keluarga di sana. Tetapi mereka berbicara creolised versi bahasa Jawa, nama Jawa muncul pada semua tingkat masyarakat dan unsur-unsur budaya Jawa (seperti masakan) telah mempengaruhi bangsa ini budaya Karibia.
FAKTA
Adanya orang Jawa di Suriname ini tak dapat dilepaskan dari adanya perkebunan-perkebunan yang dibuka di sana. Karena tak diperbolehkannya perbudakan di sana, dan orang-orang keturunan Afrika dibebaskan dari perbudakan. Di akhir 1800-an Belanda mulai mendatangkan para kuli kontrak asal Jawa, India dan Tiongkok. Orang Jawa awalnya ditempatkan di Suriname tahun 1880-an dan dipekerjakan di perkebunan gula dan kayu yang banyak di daerah Suriname.
Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara, namun banyak yang dipaksa atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun juga ada orang-orang Madura, Sunda, Batak, dan daerah lain yang keturunannya menjadi orang Jawa semua di sana.
Orang Jawa menyebar di Suriname, sehingga ada desa bernama Tamanredjo dan Tamansari. Ada pula yang berkumpul di Mariënburg. Orang Jawa Suriname sesungguhnya tetap ada kerabat di Tanah Jawa walau hidupnya jauh terpisah samudra, itu sebabnya bahasa Jawa tetap lestari di daerah Suriname. Mengetahui Indonesia sudah ‘merdeka’, banyak orang Jawa yang berpunya kembali ke Indonesia. Kemudian, di tahun 1975 saat Suriname merdeka dari Belanda, orang-orang yang termasuk orang Jawa diberi pilihan, tetap di Suriname atau ikut pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname. Rata-rata orang Jawa Suriname beragama Islam, walau ada sedikit yang beragama lain.
Yang unik dari orang Jawa Suriname ini, dilarang menikah dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang saling menikah.
Orang Jawa Suriname berjumlah sampai 15% penduduk Suriname.

SEJARAH

Wilayah Suriname mulai dikenal luas sejak abad ke-15, yaitu ketika bangsa-bangsa imperialis Eropa berlomba menguasai Guyana, suatu dataran luas yang terletak di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazon, Rio Negro, Sungai Cassiquiare dan Sungai Orinoco. Semula dataran ini oleh para ahli kartografi diberi nama Guyana Karibania (Guyana yang berarti dataran luas yang dialiri oleh banyak sungai dan Karibania dari kata Caribs yaitu nama penduduk asli yang pertama kali mendiami dataran tersebut).
Dalam suatu cerita fiktif “El Dorado”, Guyana digambarkan sebagai suatu wilayah yang kaya akan kandungan emas. Para ahli sejarah memperkirakan bahwa cerita fiktif tersebut merupakan salah satu faktor yang mendorong orang-orang Eropa untuk bersaing menguasai Guyana.
Pada tahun 1449 pelaut Spanyol, Alonzo de Ojeda dan Juan de la Cosa berlayar menyusuri pantai timur laut Amerika Selatan, yang saat itu mereka sebut Wild Coast, dan mendarat di wilayah Guyana. Vincent Juan Pinzon kemudian menguasai Guyana atas nama Raja Spanyol. Selama abad ke-16 dan ke-17, Guyana dikuasai silih berganti oleh Spanyol, Belanda, Inggris, Perancis dan Portugal.
Pada tahun 1530 Belanda mendirikan pusat perdagangan pertama di dataran tersebut. Pada tahun 1593 raja Spanyol mengambil alih dan menguasai Guyana hingga tahun 1595, yaitu ketika para bangsawan Inggris datang dan mulai mengusai daerah-daerah pantai. Sementara itu, Belanda mulai mengembangkan perdagangannya secara bertahap di daerah pedalaman. Daerah Guyana sepenuhnya jatuh ke tangan Inggris sejak tahun 1630 hingga tahun 1639.
Pada tahun yang sama Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar Guyana sedangkan Perancis menguasai daerah-daerah di samping sungai Suriname. Akibat dari persaingan tersebut, wilayah Guyana saat ini terbagi menjadi lima bagian yaitu Guyana Espanola (bagian dari Venezuela sekarang); Inglesa (Guyana sekarang); Holandesa (Suriname); Francesa (Cayenne) dan Portuguesa (bagian dari wilayah Brazil). Suriname terletak di bagian tengah dari wilayah Guyana yang telah terbagi-bagi tersebut, terbentang antara dua derajad hingga enam derajat Lintang Utara, dan antara 54 derajat hingga 58 derajat Bujur Barat dengan luas wilayah kurang lebih 163.265 kilometer persegi. Batas bagian timur wilayah Suriname adalah Sungai Marowijne yang memisahkan Suriname dengan Cayenne; di bagian selatan terdapat deretan pegunungan Acarai dan Toemoe hoemak yang memisahkan Suriname dengan wilayah Brazil. Di bagian barat berbatasan dengan wilayah Guyana yang ditandai oleh aliran Sungai Corantijne, sementara di bagian utara dibatasi oleh garis pantai Samudera Atlantik.
Pada tahun 1651 Suriname diserang oleh Inggris dan sejak saat itu, menjadi wilayah kekuasaan Inggris hingga penandatanganan perjanjian perdamaian Breda tahun 1667. Berdasarkan perjanjian itu, Suriname menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Namun Inggris kembali memasuki Suriname pada tahun 1781 hingga 1783 dan Suriname kemudian dijadikan daerah protektorat Inggris dari tahun 1799 hingga 1802. Melalui perjanjian Amiens, 27 Maret 1802, Suriname, Barbice, Demerara dan Essquibo berada di bawah kekuasaan Belanda, namun setahun kemudian Inggris kembali merebut wilayah-wilayah itu dan sejak tahun 1804 Suriname menjadi koloni Inggris dengan sebutan the British Interregnum.
Selama Suriname berada di bawah kekuasaan Inggris, situasi ekonomi Suriname mengalami kemunduran. Penyebab utama adalah pelarangan perdagangan budak, sementara kebun – kebun masih sangat memerlukan tenaga buruh untuk dikelola. Selanjutnya melalui perjanjian London pada tanggal 13 Agustus 1814 dan diratifikasi dalam perjanjian Wina, Suriname dikembalikan lagi kepada pihak Belanda. Pemerintahan Suriname dipimpin langsung oleh seorang gubernur dengan didampingi oleh sebuah dewan kepolisian yang bertugas sebagai penasihat gubernur.
Dengan dihapusnya perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863, kehidupan ekonomi semakin tidak menentu. Pada tahun 1870, pemerintah Belanda menandatangani sebuah perjanjian dengan Inggris untuk mendatangkan imigran asing ke Suriname. Perjanjian ini diimplementasikan secara resmi pada tahun 1873 sampai 1914, di mana rombongan imigran Hindustan pertama dari India didatangkan. Kedatangan rombongan berikutnya adalah para imigran dari Jawa pada tahun 1890.
Seiring dengan ditempatkannya para imigran di sektor perkebunan, Suriname mengalami kemajuan pula dalam beberapa bidang lainnya. [Telekomunikasi]], pembuatan jalan raya dan pembukaan jalur hubungan laut langsung antara Suriname dan Belanda merupakan contoh.
Pecahnya Perang Dunia Pertama tidak mempengaruhi situasi ekonomi – politik Suriname. Pada tanggal 15 Desember 1954, pemerintah Belanda bersama beberapa wakil dari Suriname menandatangani sebuah memorandum yang isinya rencana pengakhiran penjajahan. Dalam sebuah Konferensi Meja Bundar pada tahun 1961, para wakil Suriname yang dipimpin oleh Perdana Menteri Pengel menuntut dibentuknya sebuah pemerintahan sendiri. Tuntutan itu semakin menjadi setelah didirikannya beberapa partai politik yang dibentuk pada dasawarsa itu, semakin gencar menyampaikan tuntutan agar Suriname diberikan kebebasan penuh secepatnya.
Tuntutan ini ditanggapi secara serius dengan diadakannya sebuah konferensi di Belanda pada tahun 1970. Konferensi ini diadakan untuk membicarakan persiapan pelepasan Suriname sekaligus menyusun kabinet yang terdiri dari wakil-wakil partai. Suriname selanjutnya menjadi negara merdeka sejak tanggal 25 November 1975. Walaupun demikian, perekonomian negara yang baru merdeka ini tetap sangat tergantung pada bantuan pembangunan Belanda.
Pada tanggal 25 Februari 1980, lima tahun setelah kemerdekaannya, Suriname diguncang oleh kudeta yang dilancarkan pihak militer. Peristiwa kudeta ini telah mengakibatkan jatuhnya Pemerintah Demokrasi Parlementer pertama sejak kemerdekaan Suriname. Situasi menjadi semakin panas dengan tampilnya penduduk suku Bushnegro dan Amerindian yang tinggal di daerah-daerah pedalaman, sebagai penentang utama kekuasaan militer. Sekitar 35.000 penduduk Bushnegro dan 6500 Amerindian telah menjadi pelaku utama pemberontakan terhadap penguasa militer.
Kelompok-kelompok militan dari kedua golongan itu adalah kelompok Mandela (Bushnegro) di bawah pimpinan mantan anggota militer Ronny Bruswijk dan kelompok Tukayana Amazones (Amerindian). Sebagai reaksi terhadap pemberontakan tersebut, pada tanggal 8 Desember 1982 pihak militer melakukan penembakan terhadap 15 tokoh demonstran.
Peristiwa ini telah mengakibatkan dihentikannya bantuan pembangunan Belanda kepada Suriname, yang berdampak semakin buruknya kondisi perekonomian Suriname. Puncak dari konflik bersenjata tersebut terjadi pada tahun 1986, yaitu ketika Pihak Militer terpaksa harus berhadapan dengan pemberontak Bushnegro yang telah bersatu dan menamakan dirinya Jungle Commando. Sementara itu, dalam tahun yang sama kelompok Amerindian juga meningkatkan aksi pemberontakannya. Kemelut ini telah mengakibatkan sekitar 7000 orang Bushnegro melarikan diri ke Cayenne (Guyana Perancis) dan meminta suaka politik kepada pemerintah setempat.
Pemerintah militer diakhiri dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum pada bulan November 1987, yang telah mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada golongan sipil. Namun demikian, pemerintahan hasil pemilu ini tidak berjalan lama. Pada bulan Desember 1990, pihak militer kembali melancarkan kudeta tidak berdarah yang dikenal dengan sebutan Kudeta Telepon. Akibatnya pemerintah yang demokratis kembali lumpuh. Pihak militer kemudian membentuk Pemerintah Sementara yang salah satu tugasnya adalah mempersiapkan Pemilihan Umum yang demokratis.
Pada bulan Mei 1991, Pemerintah Sementara telah berhasil menyelesaikan tugasnya, yaitu dengan diselenggarakannya Pemilihan Umum, namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan militer, karena kemenangan berada di tangan golongan sipil.
Pada bulan September tahun yang sama, telah terbentuk pemerintah yang baru, dan Drs. R.R. Venetiaan terpilih sebagai Presiden dan dengan demikian, maka berakhirlah kekuasaan militer.
Langkah terpenting yang segera diupayakan oleh Pemerintah Venetiaan adalah melanjutkan usaha-usaha ke arah perdamaian yang telah dirintis oleh pemerintah sipil sebelumnya. Hal ini tentunya merupakan tugas berat bagi pemerintah yang baru terbentuk tersebut, terutama karena kondisi ekonomi dan keuangan Suriname yang sangat memprihatinkan, sebagai akibat dari kemelut politik yang berkepanjangan. Dalam melaksanakan upaya perdamaian tersebut, Presiden R.R. Venetiaan telah membentuk suatu Komisi Khusus yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi terkait lainnya.
Dalam Pemilu bulan Mei 1996 koalisi penguasa New Front (NF) dan Presiden Venetiaan mengalami kekalahan dan pemerintahannya digantikan oleh calon dari oposisi Drs. Jules Wijdenbosch Nationale Demokratische Partij (NDP) dan Radakishun Vooruitstrevende Hervorming Partij (VHP), yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian pada pemilu yang diselenggarakan pada tanggal 25 Mei 2000, kekuasaan berhasil diraih kembali oleh kombinasi pengusa New Front yang terdiri dari parpol Nationale Partij Suriname (NPS), VHP, Pertjajah Luhur dan Surinaamse Partij van de Arbeid (SPA). Kemenangan New Front ini mengantarkan kembali R.R. Venetiaan (NPS) ke tampuk kursi kepresidenan dan memimpin Suriname untuk masa 5 tahun (tahun 2000 – 2005). Sebagai Wakil Presiden telah terpilih Jules Rattankoemar Ajodhia dari partai VHP.
Perempuan Jawa yang masih ingusan ini ditulis bernama Bok Djojopawiro dari Desa Kretek, Bantoel, Djocja. Ibunya bernama Waginah. Ia diberangkatkan dari Semarang ke Suriname 1 Maret 1920, dan tragisnya setahun kemudian mati di Suriname, 13 Juli 1921.
Peristiwa itu menjadi menarik karena sama sekali tidak pernah menjadi catatan penting bagi orang Jawa di Indonesia.”Kegiatan `Javasranang` bertema orang Jawa Indonesia-Suriname dalam sebuah refleksi budaya kontemporer tersebut, diselenggarakan untuk mempromosikan peringatan 120 tahun migrasi orang Jawa ke Suriname
Walaupun mereka telah di sana selama beberapa generasi, banyak dari mereka masih mengidentifikasi Jawa, walaupun sangat sedikit yang pernah mengunjungi pulau Jawa atau memelihara hubungan keluarga di sana. Tetapi mereka berbicara creolised versi bahasa Jawa, nama Jawa muncul pada semua tingkat masyarakat dan unsur-unsur budaya Jawa (seperti masakan) telah mempengaruhi bangsa ini budaya Karibia.
Sebuah sejarah kolonial Kenapa puluhan ribu orang dari keturunan Jawa tinggal di Suriname? Ini semua harus dilakukan dengan penghapusan perbudakan dan pentingnya sistem perkebunan di koloni ini. Pada 1863, pemerintah Belanda membebaskan lebih dari 33.000 budak di Suriname. Dalam dampak penghapusan ini, pihak berwenang mengikuti koloni Karibia lain dengan mengimpor pekerja diwajibkan dari British India untuk memasok perkebunan dengan buruh murah dan patuh. Lima tahun kontrak rinci hak-hak dan tugas dari indentureds. Penting bagi sistem buruh kontrak yang disebut sanksi pidana, yang memberikan hak majikan untuk menekan tuntutan pidana terhadap indentureds yang melanggar kontrak kerja mereka. Antara 1873 dan 1916 lebih dari 34.000 orang Indian Inggris datang ke Suriname.
Namun, keraguan muncul pada sumber tenaga kerja kontrak ini. Masalah utama adalah bahwa imigran India Inggris tetap warga negara asing, dan karena itu cukup proporsi penduduk suriname akan segera Inggris. Selain itu, mata pelajaran ini bisa naik banding terhadap keputusan tertinggi otoritas Belanda dan meminta bantuan dari Konsul Inggris, yang tidak akan meningkatkan kepatuhan dari tenaga kerja. Kekhawatiran tambahan adalah ketergantungan pada negara asing untuk tenaga kerja dan gerakan nasionalis yang berkembang di India, yang galak menyerang sistem kontrak migrasi. Bahkan, di India sistem ini dihapus pada 1916. Beralih ke Jawa dianggap sebagai alternatif sumber tenaga kerja.
Upaya awal untuk mengimpor orang dari Jawa datang ke sia-sia karena pemerintah Belanda tidak mengizinkan migrasi dari Jawa ketika ada ada kemungkinan untuk memperoleh tenaga kerja di India. Namun gerakan untuk merekrut Jawa mendapatkan kekuatan di tahun 1880-an akibat perubahan iklim politik di India. Keuntungan lain adalah bahwa Belanda sendiri akan mengendalikan proses rekrutmen dan imigrasi dan tidak akan bersaing dengan merekrut negara-negara lain, seperti yang terjadi di India.
Tradisi budaya jawa telah terbukti menjadi kuat, walaupun perubahan dan penyesuaian di Suriname, misalnya dalam bahasa, tidak terhindarkan menteri kolonial Belanda keberatan untuk emigrasi dari Jawa hingga akhir 1887 oleh berargumen bahwa rakyat Jawa tidak cenderung untuk bermigrasi ke jauh-jauh dan tidak dikenal Suriname. Setelah melobi berat dari Suriname pekebun dan pejabat, pemerintah akhirnya memutuskan untuk membiarkan percobaan pertama dengan kontrak seratus Jawa migran pada tahun 1890.
Meskipun keraguan tentang kekuatan fisik pekerja baru, migrasi ke Jawa suriname sekarang berwenang. Secara total, hampir 33.000 Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya dan Semarang merupakan daerah perekrutan utama. Hanya 20 hingga 25 persen dari migran Jawa kembali ke negara asal mereka sebelum Perang Dunia II. Sebagian besar imigran menetap di Suriname. Migran ditugaskan untuk perkebunan. Menurut kontrak, perkebunan harus menyediakan perumahan gratis bagi buruh. Namun, kualitas perumahan sering di bawah standar.
Para pejabat India Timur Belanda H. van Vleuten, yang mengunjungi Suriname pada tahun 1909 untuk menyelidiki hidup dan kondisi kerja orang Jawa, melaporkan bahwa kehidupan rumah tangga dari imigran Jawa menampakkan diri kepadanya sebagai ‘agak menyedihkan’. Sebagian besar kamar ‘memberi kesan kemiskinan besar penduduk mereka. ” Kontrak kerja tetap upah laki-laki dan perempuan, tetapi kebanyakan indentureds menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan upah yang terdaftar. Van Vleuten menyimpulkan bahwa “upah rata-rata yang diterima oleh pekerja kontrak jauh di bawah minimum.” Dia berargumen bahwa penghasilan itu terlalu rendah untuk mencari nafkah di sebuah koloni semahal Suriname.
Selain masalah materi ini, orang Jawa juga harus menghadapi penyesuaian untuk hidup baru, diet, dan bekerja rezim dalam lingkungan yang sering bermusuhan. Tidak mengherankan, kerinduan melanda banyak migran. Keinginan untuk kembali ke Jawa menjabat sebagai bentuk pelarian. Ini pelarian dan teknik lainnya, seperti pura-pura penyakit, tersembunyi menjabat sebagai bentuk protes terhadap sistem surat perjanjian rangkap dua. Kontinuitas budaya Tradisi budaya Jawa telah terbukti menjadi kuat, walaupun perubahan dan penyesuaian di Suriname, misalnya dalam bahasa, tidak terhindarkan. Namun generasi kedua dan kemudian masih mengidentifikasi dengan negara asal mereka. Para pemerintah Suriname juga secara aktif mempromosikan kelangsungan hidup budaya Jawa di masa sebelum Perang Dunia II. Pada tahun 1930, gubernur memulai sebuah ‘Indianisation’ proyek untuk mengisi koloni dengan petani Jawa, yang akan menetap dalam gaya Jawa-desa (desa) lengkap dengan agama mereka sendiri dan kepemimpinan sipil.
Program ini dipotong oleh perang. Setelah perang, lanskap politik berubah diperbolehkan untuk pembentukan partai-partai politik di Suriname. Kedua partai-partai Jawa, seperti semua pihak lain, berdasarkan etnisitas daripada ideologi. Sana ada persaingan yang kuat antara para pemimpin mereka, Iding Soemita dan Salikin Hardjo. Yang terakhir ini tidak terlalu berhasil dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1949 dan kemudian berkonsentrasi pada mendorong kembali ke Jawa oleh kelompok memilih orang terampil. Pada tahun 1954, seribu Jawa berlayar bagi Indonesia, untuk memulai sebuah koperasi pertanian di Tongar di Sumatera Barat. Eksodus kedua terjadi di tahun 1970-an, ketika sekitar 20.000 orang Jawa berangkat ke Belanda pada malam kemerdekaan Suriname pada tahun 1975.
Politik, pentingnya kelompok penduduk Jawa tidak bisa dibantah politik, pentingnya kelompok penduduk Jawa tidak bisa dibantah. Sering orang Jawa terus keseimbangan antara yang lebih besar dan lebih kuat Afro-Suriname dan Hindustan (mantan British Indian) kelompok. Saat ini, Paulus Slamet Somohardjo adalah pertama-pernah Jawa Ketua Majelis Nasional. Pembangunan sosio-ekonomi mereka lebih lambat, tetapi sejak tahun 1960-an orang Jawa telah mengejar kelompok populasi lain, meskipun tingkat urbanisasi masih lebih rendah dibandingkan dengan kelompok besar lainnya.
Menyusul runtuhnya perkebunan di paruh pertama abad kedua puluh, banyak orang Jawa yang ditemukan bekerja di industri bauksit dan sektor pertanian. Hanya dalam dekade terakhir abad terakhir melakukan kehadiran Jawa dalam bisnis, profesi dan peningkatan layanan sipil. Demografis, orang Jawa sudah lama menjadi penduduk terbesar ketiga grup, tetapi Maroon (keturunan budak yang melarikan diri) sempit melebihi mereka dalam sensus terakhir tahun 2004. Menurut angka-angka ini, para kelompok Hindustan menghitung 135.000 orang, diikuti oleh Afro-Suriname (87.500), Maroon (72.600), dan Jawa (75.000). Orang Jawa yang unik telah menambahkan elemen etnis dan budaya ke Karibia dan Amerika Latin. Namun, hal ini tidak menghasilkan banyak kepentingan penelitian di Jawa dan kebudayaan mereka. Oleh karena itu akan baik untuk memperoleh pengetahuan tentang kehidupan, budaya, dan kemajuan dari Jawa di Suriname. Hal ini tentu worth it!

  • Share
  • [i]

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...